Sabtu, 15 Mei 2010

MDGs to Donorojo

Formasi bekerjasama dengan ACE Jakarta melakukan program MDGs di Desa Donorojo kecamatan sempor Kab. Kebumen, Fuad selaku CO Formasi di desa donorojo mengatakan pemenuhan MDGs di desa donorojo akan di lakukan dengan peningkatan tata pemerintahan yang baik dan responsiv gender, dalam assessment yang dilakukan dari bulan februari sampai bulan mei di temukan kondisi MDGs di desa Donorojo diantaranya :
1. masalah kemiskinan cukup tinggi sebesar 63 % diambil dari data Jamkesmas/Jamkesda
2. akses pendidikan cukup jauh terutama tingkat SLTP, sekitar 3-4 Km
3. angka putus sekolah cukup tinggi
4. partisipasi perempuan dalam proses pembangunan masih sangat rendah
5. sering terjadi bencana tanah longsor ketika musim hujan.
6. kekurangan air bersih, ketika musim kemarau
7. menyebarnya penyakit cingumunya

Rabu, 05 Mei 2010

MDGs

Pemberdayaan Masyarakat dan Target MDG’s 2015

Sesuai amanah UU No. 32 Tahun 2004, kesehatan merupakan salah satu sektor yang turut terdesentralisasi dan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Secara formal, Pemerintah berharap agar daerah ikut berpartisipasi di dalam pembangunan dan pembiayaan sektor kesehatan, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi spesifik lokal masing-masing daerah.

Salah satu Unit Pelayanan Kesehatan(UPK) yang terkena imbasnya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat(Puskesmas). Puskesmas yang digadang-gadang sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan nasional , dan pernah menjadi model pembangunan kesehatan bagi negara-negara tetangga di era 1970-an, terdegradasi menjadi unit pelaksana teknis daerah. Artinya, selain menjadi pengemban sebagian tugas pokok Dinas Kesehatan setempat, Puskesmas juga merupakan instansi yang tunduk kepada keinginan pemerintah lokal. Seperti, menjadi klinik pengobatan dasar (primarily health care)bagi masyarakat sekitar yang membutuhkan ketimbang fungsi yang lain; menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga sesuai konteks pembangunan berwawasan kesehatan (public health services).

Menilik dari namanya, Puskesmas seharusnya menjadi pangkal upaya promotif-preventif ketimbang kuratif-rehabilitatif. Namun, adanya pemahaman yang keliru dari para pemegang kebijakan di negeri ini, yang memandang upaya kesehatan hanyalah berupa layanan klinis semata(medical services), membuat ia tersulap menjadi “rumah sakit mini” yang menunggu pasien datang berobat. Ruang-ruang poliklinik diperbesar dan alat-alat kedokteran disuplai sedemikian rupa atas nama pelayanan kesehatan gratis yang dikembangkan mulai level nasional (Jamkesmas) hingga daerah(Jamkesda). Ditengarai hal ini pulalah yang menyebabkan kurangnya aktivitas luar gedung di puskesmas selama ini. Kegiatan promotif-preventif dipandang sebagai pemborosan anggaran dan proses yang memakan waktu panjang ketimbang upaya pengobatan yang langsung bersentuhan dengan pasien. Tidak mengherankan, sebagian besar unsur pimpinan Puskesmas masih didominasi oleh klinisi medis(baca:dokter) ketimbang sarjana kesehatan masyarakat(SKM). Ironisnya, salah kaprah ini berlanjut dengan anggapan bahwa jumlah kunjungan pasien yang meningkat sebagai salah satu indikator kesuksesan pembangunan kesehatan; padahal jumlah kunjungan pasien berbanding lurus dengan prevalensi penyakit di daerah yang bersangkutan.

Niat Menkes Endang Rahayu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat pedesaaan melalui pemberdayaan Puskesmas patut diacungi jempol. Namun, paradigma “sakit” yang mencengkeram UPK ini harus dibenahi terlebih dahulu. Upaya promotif-preventif dijadikan azas utama dalam penyelenggaraan kegiatan puskesmas. Staf puskesmas harus “menjemput bola” di luar gedung ketimbang pasif menunggu pasien diruangannya. Laporan yang terpampang di dinding puskesmas bukan model kuratif lagi seperti “10 penyakit tertinggi”, namun jumlah masyarakat yang telah disuluh dan aktif membantu pihak Puskesmas dalam kegiatan promotif lainnya. Ibarat pepatah Cina klasik, “lebih baik memberi seseorang kail dan umpan, daripada memberi makan setiap harinya”, masyarakat disadarkan secara perlahan bahwa kesehatan selain merupakan hak, juga merupakan tanggung jawab individu sebagai warga negara. Model pemberdayaan partisipatoris ini tentu membutuhkan koordinasi erat antar sektor terkait; diperlukan penyamaan visi dan persepsi antara pihak puskesmas dengan aparat desa dan kecamatan serta masyarakat setempat.

Prioritas kesehatan “hulu” ini akan berdampak positif terhadap profil Puskesmas di masa yang akan datang. Berkurangnya jumlah pasien yang datang berobat akan mengurangi kebutuhan anggaran logistik dan ruang penyimpanan obat-obatan. Dokter dan perawat/bidan akan memiliki waktu luang yang cukup untuk memberikan informasi kesehatan yang diperlukan pasien di sela-sela pemberian terapi. Sistem Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah memungkinkan Puskemas berkreasi dan berkembang menjadi pusat layanan penyakit endemik tertentu, dikondisikan dengan sistuasi di wilayahnya. Alih-alih diseragamkan menjadi puskesmas rawat inap atau puskesmas plus, puskesmas yang berada di sekitar tempat lokalisasi bisa mengembangkan diri menjadi pusat layanan kesehatan reproduksi dan Infeksi Menular Seksual(IMS), misalnya.

Perubahan paradigma di atas membutuhkan komitmen pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan selaku pengemban utama pembangunan kesehatan. Insya Allah, kita akan dapat menegakkan kepala dalam pertemuan Milenium Development Goals(MDG’s) enam tahun mendatang.. semoga!

(Muhammad Hatta, Dokter Puskesmas Bonto Perak , Pangkep ,Sulawesi Selatan)

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/2009/11/30/pemberdayaan-puskesmas-dan-target-mdg's-2015/