Selasa, 29 November 2011

Seknas Fitra.

JAKARTA: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengimbau pemerintah untuk meningkatkan alokasi dana transfer daerah hingga 50% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sekjen FITRA Yuna Farhan menyatakan pemerintah sebelumnya telah mengklaim alokasi APBN ke daerah sampai saat ini telah mencapai 60%.

Untuk itu, sambung Yuna, anggaran lebih baik ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak awal.

“Kalau dari awal masuk jadi APBD dan di DAK-an [Dana Alokasi Khusus], maka beberapa program nasional juga kepemilikannya jadi ke daerah,” ujar Yuna kepada Bisnis, hari ini.

Dia menjelaskan alokasi dana transfer daerah yang besar juga akan mencerminkan konsistensi pemerintah terhadap urusan otonomi daerah.

Terbukti, menurut dia, 74% urusan pemerintah telah didesentralisasikan ke daerah, namun dari sisi perimbangan, alokasi anggaran justru berbanding terbalik.

“Transfer daerah tidak beranjak pada kisaran 31-34% belanja negara,” tuturnya.

Yuna menyarankan adanya penyederhanaan formulasi dalam perhitungan perimbangan keuangan.

Selain itu, pemerintah pusat juga dianjurkan menyediakan mekanisme dan ruang terhadap keluhan alokasi dana transfer daerah.

“Harus disimulasikan DAU [Dana Alokasi Umum] yang bisa didapat sesuai dengan IPM,”

Dia menambahkan pemerintah perlu menerapkan sistem insentif dan disinsentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja.

Rencana jangka menengah, lanjut Yuna, harus diawasi dengan baik. Tak hanya itu, skema baru untuk persoalan perimbangan keuangan juga harus ditata.

Di sisi lain, Erani Yustika, Pengamat ekonomi INDEF menyampaikan penambahan anggaran daerah tanpa dilengkapi aturan main hanya akan menjadi bencana. Untuk itu, perlu diberlakukan regulasi tambahan bagi daerah.

Menurut Erani, jika alokasi anggaran daerah ditingkatkan, maka beberapa fungsi pemerintah pusat harus dilimpahkan kepada daerah dan harus dimasukkan dalam klaster APBD.

Pemerintah daerah, juga diwajibkan memiliki standar pelayanan minimal yang akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan air bersih.

Erani juga mengimbau Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengawasi, baik perencanaan maupun implementasi penggunaan anggaran daerah agar tidak statis dan inproduktif.

Selain itu, porsi pembelanjaan rutin harus ditentukan batasannya untuk menghindari pembelanjaan yang tidak efektif.

Misalnya, jelas Erani, proporsi belanja pegawai yang besar harus direduksi dan dialokasikan untuk belanja produksi yang efeknya besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Kalau ini dilakukan, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi akan besar,” ujarnya. (01/Bsi)