Ditulis Oleh: Indrasari Tjandraningsih
Indrasari Tjandraningsih - Peneliti Perburuhan AKATIGA
Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus meluas di kalangan yang memang sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku sector informal, semakin kasat mata. Upah dan pendapatan kelompok marjinal ini semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu, kemiskinan buruh di sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India’.
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata upah mÃnimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak terus terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi asing yang datang.
Kecenderungan pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan bahwa ’lebih mudah menghadapi protes buruh daripada menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran usaha’.
Implikasi dan arah kebijakan
Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan di atas, apabila terus dipertahankan maka dalam waktu yang tidak terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial, maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai ’fall-back cushion’ atau jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk melakukannya. Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi negara yang ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.
sumber : http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini
Minggu, 28 November 2010
Senin, 01 November 2010
Formasi Memberikan Bantuan Kepada Korban Tanah Longsor Di Desa Donorojo

Hujan deras yang melanda kabupaten kebumen beberapa hari ini mengakibatkan bencana tanah longsor, yaitu di Desa Donorojo Kecamatan Sempor. Hujan deras disertai angin mulai hari minggu itu juga menutup akses jalan Kebumen – Banjarnegara, termasuk akses masyarakat Donorojo dan beberapa desa disekitarnya ( Desa kedungwringin, sampang ) ketika mau ke kecamatan sempor ataupun wilayah lain dikabupaten kebumen terpaksa harus memutar melawati kabupaten Banyumas. akses jalan baru bisa dibuka pada hari rabu sore setelah bantuan alat berat datang, di desa Donorojo sendiri tercatat 10 rumah rusak terkena tanah longsor, dan banyak akses jalan desa yang tidak bisa dilewati sampai sekarang, hal ini dikarenakan hampir semua wilayah desa Donorojo merupakan daerah pegunungan dengan struktur tanah yang labil sehingga ketika hujan deras datang sering kali terjadi longsor, beberap dusun seperti kalimandi, kaliputih dan kalikumbang masih terisolir karena akses jalan yang tertutup tanah longsor, selain akses jalan tanah longsor juga mengenai rumah masyarakat sampai kamis kemarin tercatat ada 10 rumah yang terkena tanah longsor.
Kepala Desa Donorojo Suparta menceritakan pada hari senin ada laporan 5 warga kami yang terkena musibah dan sampai hari kamis kemarin bertambah 10 keluarga, kami khawatir korban masih ada dan belum melapor ke Desa, kami sudah mengunjungi beberapa korban dan menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong membantu korban dan membuka akses jalan. Sementara ini kami baru bisa membuka akses menuju balai desa, karena balai desa memang dijadikan posko bencana dan tempat pelayanan untuk masyarakat, sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah dan kami sangat bersyukur dari Formasi mau peduli dan membantu masyarakat desa Donorojo yang sedang terkena musibah.
Formasi mendengar adanya musibah tanah longsor di Desa Donorojo pada hari senin kamarin, tetapi baru pada hari kamis baru bisa sampai ke Desa Donorojo hal ini dikarenakan akses jalan menuju desa Donorojo memang masih terisolir, sebagai bentuk kepedulian Formasi memberikan bantuan berupa Sembako kepada masyarakat desa Donorojo siang kemarin dan diterima langsung oleh Pak Suparta dan beberapa tokoh masyarakat di Desa Donorojo .
Senin, 18 Oktober 2010
Paper Brief Analisa APBD Perubahan Kab. Kebumen Tahun 2010

PANDANGAN UMUM FORMASI
APBD PERUBAHAN DEFISIT KARENA GAJI NAIK 131 MILYARD
Mengabaikan Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas= Inskonstitusional
Disampaikan pada : Audensi dan Hearing Pembahasan RAPBD P 2010 antara FORMASI dengan DPRD Kab. Kebumen
APBD HAK RAKYAT
Kebijakan suatu pemerintahan membutuhkan sumber daya berupa alokasi anggaran yang tertuang setiap tahunnya dalam bentuk APBD. Salah satu fungsi APBD dalam undang-undang keuangan negara adalah fungsi distribusi, bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Kaitannya dengan hal ini perencanaan penganggaran partisipatif akan memunculkan rasa memiliki pihak yang terlibat dalam perencanaan, hasil perencanaan sesuai dengan kebutuhan calon penerima manfaat dan hasil-hasil pembangunan lebih adil dan merata.
Keberpihakan APBD terhadap orang miskin dan diorientasikan untuk mengatasi ketimpangan jender yang terjadi merupakan target yang harus dicapai daerah dalam menyusun APBD. Keberpihakan APBD menunjukan sejauhmana pemimpin di daerah menunjukan komitmen politis yang dituangkan dalam APBD. Prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan kesetaraan merupakan prasyarat wajib terwujudnya APBD yang pro rakyat, mulai dari proses perencanaan sampai pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Sehingga prinsip tersebut wajib dilaksanakan dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran daerah.
Landasan Yuridis
Secara aturan hukum pada dasarnya sudah sangat memadahi untuk mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang tidak mengkhianati 3 prinsip good governace, mulai dari UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah bahkan Peraturan Bupati. Namun demikian pada prakteknya tidak banyak ruang-ruang partisipasi terutama dalam pembahasan anggaran dibuka untuk public. Bahkan kecenderungan menutup akses informasi, “kucing-kucingan” dengan rakyat selalu mewarnai pembahasan APBD.
Tragedi menyedihkan manakala para pemimpin Negara/Daerah justru banyak memberikan contoh untuk “mengingkari” amanah konstitusi. UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa anggaran ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya Kemakmuran rakyat dapat tercapai dengan keterlibatan rakyat dalam proses penganggaran karena rakyat lebih mengetahui kebutuhannya.
UU 17/2003, Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa Keuangan Negara dikelola secara transparan, Pasal 30 dan 31 mengisaratkan bahwa Akuntabilitas keuangan negara berorientasi pada hasil. Disini mengandung makna bahwa pengelolaan keuangan negara yang transparan membuka ruang terdistribusinya anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
UU 10/2004, Pasal 5 huruf g bahwa Pembentukan Undang-Undang menganut asas keterbukaan, Pasal 53 bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang, Pasal 22 ayat 1 dan 2 mengisaratkan adanya uji publik terhadap RUU . Asas keterbukaan dapat membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses pembentukan undang-undang sehingga dapat melahirkan produk undang-undang yang berpihak pada masyarakat.
UU 32/2004, Pasal 23 ayat (2) bahwa keuangan daerah dikelola secara transparan dan akuntabel, Pasal 137 butir g bahwa pembentukan Perda menganut asas keterbukaan, Pasal 178 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pengelolaan barang daerah dilaksanakan secara transparan. Pasal 139 ayat (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Pasal 184 ayat 2 dan 3 menegaskan bahwa akuntabilitas keuangan daerah berorientasi pada hasil. Dengan demikian kebutuhan dasar masyarakat didaerah dapat terpenuhi melalui perencanaan dan penganggaran yang melibatkan masyarakat .
UU 25/2004, Pasal 2 ayat (4) huruf d, pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 2, pasal 7 ayat 2, Pasal 11 ayat (1), pasal 16 ayat (2), pasal 22 mengisaratkan bahwa Penyusunan rencana kerja pembangunan mengikutsertakan masyarakat. Perencanaan pembagunan yang tepat sasaran dapat tercapai manakala melibatkan masyarakat dalam penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah.
Dasar tujuan UU 14/2008 : menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik ; mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
PP No. 68 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraa Negara Yang Bersih dari KKN, Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa masyarakat memiliki Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara. PP 20 tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat 1 dan dan 2 mengisaratkan bahwa Masyarakat secara perorangan maupun kelompok dan atau organisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah baik lansung maupun tidak langsung.
Perda 53/2004 dan Perbup 29/2004 : Masyarakat berhak : Memperoleh informasi tentang proses Kebijakan Publik; Menolak atau menerima proses Kebijakan Publik; Menyampaikan dan menyebarluaskan informasi public tentang proses Kebijakan Publik; Berpartisipasi dalam proses kebijakan public, dan ; Menyampaikan usulan untuk dapat dipertimbangkan menjadi agenda kebijakan public dengan disertai alasan-alasan yang memiliki kepentingan strategis sesuai dengan vis dan misi Daerah.
Pertanyaannya sekarang, legalkah, syahkah apabila APBD P 2010 ditetakan tanpa sedikitun membuka ruang partisipasi dan akses informasi public ???
Catatan Kritis Rancangan APBD P 2010
a. Pendapatan Daerah
Secara umum trend pendapatan daerah sejak APBD Murni 2009 sampai dengan RAPBD Perubahan 2010 mengalami kenaikan berkisar 13% yakni Rp. 876,994,120,766 di APBD realisasi 2009 menjadi Rp. 990,878,124,000 pada RAPBD-P 2010. Namun jika dicermati lebih dalam tentang pendapatan asli daerah yang notabenenya cermin kinerja pemerintahan daerah pada periode yang sama, ternyata mengalami penurunan sebesar 3,5%, yaitu dari Rp. 62,281,026,134 pada APBD Realisasi 2009 menjadi Rp. 60,064,533,000 di RAPBD-P 2010. Ironis lagi jika dibanding dengan APBD Murni 2010, mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu kisaran 7 M atau 11,6%.
Pertanyaannya, mengapa sampai terjadi penurunan pendapatan asli daerah ?. Apakah sengaja melakukan “mark down” agar saat realisasi/pertanggungjawaban dapat dengan mudah untuk menaikkan target, sehingga mampu membangun citra public? Atau memang rendahnya kualitas kinerja pemerintah daerah? Apalagi penurunan justru pada pos pendapatan dari BUMD ( apotik lokulo ) dan pendapatan dari giro dan deposito yang disebabkan dari menurunya dana idle karena menurunnya pendapatan dari silpa. Penurunan silpa hanya sekitar 20 % tetapi pendapatan dari giro dan deposito turun hampir 50 %. Logikanya bagaimana …?
b. Belanja Daerah
Efesiensi hanyalah sekedar “live servis” dalam penganggaran daerah, sebab yang terjadi justru pemborosan yang tidak berdampak langsung pada pemenuhan hak dasar rakyat. Hal ini secara umum dapat dilihat dari proporsi antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung yang manfaatnya dirasakan rakyat. Sejak APBD Murni 2009 sampai dengan RAPBD-P 2010 proporsi belanja tidak langsung dalam kisaran 68,25% di tahun 2009 dan meningkat menjadi 74,66% di RAPBD-P 2010.
Jika ditelusur lebih dalam yang paling boros adalah untuk pos belanja pegawai, dimana dalam APBD Realisasi 2009 sebesar Rp. 566,161,056,531 meningkat tajam pada RAPBD-P 2010 menjadi Rp. 697,229,400,073 atau naik sebesar 23,2% setara 131 milyard. Benarkah kenaikan itu sudah rasional atau memang sengaja “dimark up” agar ketika dalam realisasi APBD 2010 terjadi penurunan public akan menilai bahwa pemerintah efesien? Sementara asumsi selama ini bahwa belanja gaji pegawai sumber dananya berasal dari Dana Alokasi Umum ( DAU ). Jika mencermati DAU pada RAPBD-P 2010 hanya sebesar Rp. 642,797,600,000, maka antara DAU dan belanja gaji pegawai mengalami deficit sebesar Rp. (54,431,800,073). Terus darimana sumber dana untuk nomboki ?
Pada pos belanja yang lain, nampaknya belanja bantuan social terus dipertahankan meskipun seluruh tim anggaran pemerintah daerah dan badan anggaran DPRD telah mencapai kesepahaman awal bahwa APBD-P 2010 mengalami deficit. Bahkan telah dimunculkan untuk rencana menutup dengan cara hutang sebesar 8 milyard. Pertanyaan kritisnya adalah apakah belanja bantuan social yang dalam paraturan perundangan tidak wajib diberikan secara terus menerus setiap tahunnya. Selain itu Bantuan sosial diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Tetapi mengapa dipaksakan di RAPBD-P 2010 tetap sebesar Rp. 34,078,470,000 padahal dalam Realisasi APBD 2009 hanya terealaisasi kisaran 29 milyard dari rencana 30 milyard dalam APBD 2009? Apakah memang ada kesengajaan, karena belanja bansos tidak terlalu rumit pertanggungjawabannya, dan mudah untuk “permainan dan publikasi “ kepentingan penguasa?
c. Pokok Permasalahan
1. Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Badan Anggaran DPRD Kebumen selalu mengabaikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance) dengan menutus partisipasi dan akses informasi rakyat dalam setiap tahapan pembahasan APBD. Pengabaian azas partisipasi, transparansi dan akuntabilitas selalu berdampak pada pengkibiran hak-hak rakyat.
2. Rendahnya kinerja pemerintah daerah dalam mendorong peningkatan pendapatan asli daerah, pada satu sisi mencerminkan bahwa kualitas SDM, inovasi dan kreatifitas sangat rendah. Namun pada sisi lain, setiap tahun selalu menuntut hak kenaikan gaji dan tunjangan yang semestinya harus merasa malu karena rendahnya prestasi kinerja.
3. Lemahnya prestasi kerja pemerintah juga dibuktikan dengan kualitas dokumen anggaran daerah (APBD), baik dalam hal ketidakcermatan dalam penyusunan, lebih-lebih pada nilai-nilai filosofis mengapa dan untuk apa APBD disusun?
4. Fungsi pengawasan dan hak budget yang melekat pada setiap anggota DPRD, ternyata “mandul”. Hal ini dibuktikan pada setiap proses tahapan pembahasan APBD selalu terkesan rutinitas dan hanya mencermati pos-pos yang dianggap menguntungkan dirinya,dan atau kelompoknya. Tidak pernah ada upaya untuk melakukan pencermatan secara komprehensif melalui analisa kritis sesuai fungsi hak budget yang dimiliki. Artinya, hak budget hanya dimaknai sebagai proyek oriented, proposal oriented. Yang lebih memprihatinkan lagi, kapasitas masing-masing anggota untuk memahami azas-azas pro poor budget sama sekali tidak nampak.
5. Kepekaan dan komitmen pemimpin daerah dalam konteks mewujudkan kedaulatan rakyat atas anggaran mutlak diperlukan. Sehingga bagaimana selalu berupaya mewujudkan anggaran daerah yang pro rakyat bukan malah sebaliknya pro pemborosan untuk belanja pegawai dan operasional.
6. Ketidakcermatan dalam penyusunan APBD baik oleh Tim Anggaran Pemerinatah Daerah dan juga Banggar DPRD, mulai dari penyusunan APBD Perubahan 2009, Realisasi APBD 2009 sampai dengan RAPBD Perubahan 2010 berdampak fatal pada pemenuhan hak-hak rakyat dan menimbulkan keresahan. Maknanya proses penyusunan APBD sampai saat ini mengkebiri landasan yuridis, filosofis, sosiologis dan kedaulatan rakyat.
d. Rekomendasi dan Tuntutan
1. Badan Anggaran dan seluruh Fraksi DPRD Kebumen agar mempunyai sensitifitas dan komitmen menegakkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dengan selalu pro aktif melibatkan rakyat dan membuka akses informasi seluas-luasnya terhadap proses kebijakan public.
2. Hak pengawasan dan hak budget yang melekat pada setiap anggota DPRD agar dipergunakan untuk membedah secara tuntas dokumen RAPBD Perubahan 2010 dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan APBD Murni 2010 yang belum diimplementasikan. Salah satunya adalah implementasi ADD 2010 yang sudah melewati batas waktu yang diatur dalam regulasi daerah. Apalagi sampai berdampak pada rencana hutang daerah.
3. Transparansi dan iktikad baik untuk komitmen mewujudkan efektifitas dan efesiensi anggaran daerah tidak hanya dalam kata-kata, tetapi harus diwujudkan secara nyata dan rasional. Karena itu dibutuhkan sikap sensitifitas dan komitmen pada seluruh jajaran Tim Anggaran Daerah, utamanya pimpinan daerah untuk lebih berpihak pada kebutuhan dasar rakyat (needs people oriented)
4. Kemauan untuk membuka ruang-ruang public dan akses informasi, harus diniati sebagai proses pembelajaran bersama untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, baik untuk rakyat, DPRD dan pemerintah daerah. Sehingga keengganan untuk melakukan itu semua mengandung arti adanya sikap “malas, gengsi” untuk berkomunikasi dengan rakyat.
Berangkat dari pemikiran di atas, Forum Masyarakat Sipil ( FORMASI ) Kebumen, menyatakan sikap MENOLAK HUTANG, RASIONALISASI GAJI PEGAWAI, EVALUASI BELANJA SOSIAL, EFESIENSI DAN EFEKTIFITAS BELANJA LANGSUNG, EVALUASI KINERJA UNTUK PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN SEGERA MENCAIRKAN ADD SESUAI REGULASI YANG BERLAKU.
Kebumen, 28 Septemebr 2010
Selasa, 28 September 2010
Membagikan Devisit kepada seluruh desa diKab. Kebumen
APBD Merupakan hak rakyat, dan rakyatpun berhak tau, selain itu dalam rakyat juga harus dilibatkan dalam proses penyusunannya, karena berbagai hal itu diabaikan maka terjadilah gejolak yang cukup berarti di Kab. Kebumen, baru-baru ini ada info defisit dalam APBD P Thn. 2010 yang diakibatkan oleh Pilkada yang terjadi 2 putaran, sehingga alokasi dana desa ( ADD ) pun harus dipangkas, hal ini sangat membuat rakyat terkejut hal ini dikarenakan ADD merupakan anggaran yang dirasakan langsung oleh rakyat yang ada didesa, perencanaan desa yang telah disusun jauh-jauh hari ternyata tidak berarti setelah ada pemangkasan ADD, akibat pemangkasan ini maka seluruh desa di Kab. Kebumen juga ikut defisit dalam kata singkatnya Kabupaten tidak mau defisit sehingga defisit dibagi-bagikan ke seluruh desa.
melihat hal ini maka Formasi-Kebumen melakukan analisys anggaran, untuk melihat sejauh mana dokumen APBD Kab. Kebumen Tahun 2009-2010.
melihat hal ini maka Formasi-Kebumen melakukan analisys anggaran, untuk melihat sejauh mana dokumen APBD Kab. Kebumen Tahun 2009-2010.
Jumat, 24 September 2010
Lebaran sesak dengan pemudik, Desentralisasi sesak dengan Perda
Mudik merupakan rutinitas yang dijalani oleh sebagian masyarakat di Indonesia,mudik merupakan waktu yang paling dit unggu, karena hanya saat itu lah waktu bertemu dengan keluarga keluarga, mengunjungi tanah kelahiran, dan merayakan Hari besar Idul Fitri bagi umat Islam.
Kalau kita coba kita renungkan budaya mudik ini tidak bisa lepas dari tingginya tingkat urbanisasi di Indonesia, tingginya tingkat kemiskinan dan sedikitnya lapangan kerja memaksa sebagian masyarakat kita untuk hijrah ke kota dengan harapan bisa mendapatkan pendapatan untuk mencukupi kehidupannya, ini tentunya PR besar buat bangsa ini untuk bisa membuka lapangan kerja lebih luas di daerah, atau adanya sebuah peningkatan kemampuan masyarakat untuk membuka / menciptakan lapangan pekerjaanya sendiri sehingga kemandirian ekonomi masyarakat bisa tercipta atau dengan kata lain masyarakat bisa menciptakan lapangan sendiri tanpa menggantungkan dari lapangan kerja yang ada.
Hal ini memang bukan permasalahan yang mudah, rendahnya sumber daya manusia, tingginya tingkat persaingan usaha, permodalan merupakan sedikit permasalahan dari sekian banyaknya permasalahan yang ada, belum lagi ada banyaknya regulasi – regulasi justru membebani masyarakat, seperti Perda retribusi, perijinan yang terkadang kurang berpihak kepada masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah.
Sebuah filosofi hukum di Indonesia “ Semua hal tidak boleh dilakukan kecuali yang diperbolehkan “ , ini mungkin yang melandasi birokrasi kita dalam menyusun berbagai kebijakan, hal ini tentu berbeda ketika kita bandingkan dengan Negara Prancis dan negara maju lainnya di sana ada sebuah filosofi “ Semua hal boleh dilakukan kecuali yang dilarang “. Mungkin hal ini yang memudahkan masyarakat disana untuk berakselerasi dan berinovasi untuk meningkatkan dan mengembangkan ekonominya.
Era desentralisasi / otonomi daerah melahirkan banyak sekali peraturan daerah tercatat ada sekitar 13 ribu Peraturan daerah lahir ( catatan Depkeu tahun. 2008 ), hal ini mungkin dipengaruhi oleh filosofi diatas sehingga hampir semua hal diatur oleh Negara, pertanyaannya apakah 13 ribu peraturan daerah tersebut disusun secara partisipatif dan berimbas positif bagi masyarakat atau justru membebani masyarakat ?
Karena kalau kita melihat ke belakang masih banyak sekali pemerintah daerah dalam menyusun berbagai peraturan daerah belum melibatkan masyarakat, dan masih ada masyarakat yang merasa dirugikan karena keberadaan peraturan daerah. Hal ini yang menyebabkan dari 13 ribu perda tersebut ada 30 % digagalkan setelah dievaluasi oleh pemerintah pusat ( catatan Depkeu ).
Latar belakang ini yang akan coba dibahas pada catatan kali ini, catatan ini merupakan hasil diskusi selama 2 hari yang diselenggarakan oleh AK3 Bandung pada tanggal 2-3 September 2010 yang bertepatan dengan musim mudik lebaran ( H – 7 Lebaran ), sehingga dalam perjalanan pulang saya melebur dan ikut serta dalam hiruk pikuk suasana mudik, dalam diskusi ini di perkenalkan sebuah metode untuk mengkaji peraturan daerah, yaitu metode RIA ( Regulatori Impact Assesment ), dalam diskusi kali ini memang baru tahap perkenalan RIA sehingga baru diikuti oleh intern AK3 serta 2 perwakilan dari daerah ( Kebumen dan Solo ) , rencananya diskusi ini akan ditindaklajuti dengan diskusi-diskusi lanjutan dan pelatihan tentang implementasi dalam penggunaan RIA. ( Lebih lanjut bisa didownload di link )
Kalau kita coba kita renungkan budaya mudik ini tidak bisa lepas dari tingginya tingkat urbanisasi di Indonesia, tingginya tingkat kemiskinan dan sedikitnya lapangan kerja memaksa sebagian masyarakat kita untuk hijrah ke kota dengan harapan bisa mendapatkan pendapatan untuk mencukupi kehidupannya, ini tentunya PR besar buat bangsa ini untuk bisa membuka lapangan kerja lebih luas di daerah, atau adanya sebuah peningkatan kemampuan masyarakat untuk membuka / menciptakan lapangan pekerjaanya sendiri sehingga kemandirian ekonomi masyarakat bisa tercipta atau dengan kata lain masyarakat bisa menciptakan lapangan sendiri tanpa menggantungkan dari lapangan kerja yang ada.
Hal ini memang bukan permasalahan yang mudah, rendahnya sumber daya manusia, tingginya tingkat persaingan usaha, permodalan merupakan sedikit permasalahan dari sekian banyaknya permasalahan yang ada, belum lagi ada banyaknya regulasi – regulasi justru membebani masyarakat, seperti Perda retribusi, perijinan yang terkadang kurang berpihak kepada masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah.
Sebuah filosofi hukum di Indonesia “ Semua hal tidak boleh dilakukan kecuali yang diperbolehkan “ , ini mungkin yang melandasi birokrasi kita dalam menyusun berbagai kebijakan, hal ini tentu berbeda ketika kita bandingkan dengan Negara Prancis dan negara maju lainnya di sana ada sebuah filosofi “ Semua hal boleh dilakukan kecuali yang dilarang “. Mungkin hal ini yang memudahkan masyarakat disana untuk berakselerasi dan berinovasi untuk meningkatkan dan mengembangkan ekonominya.
Era desentralisasi / otonomi daerah melahirkan banyak sekali peraturan daerah tercatat ada sekitar 13 ribu Peraturan daerah lahir ( catatan Depkeu tahun. 2008 ), hal ini mungkin dipengaruhi oleh filosofi diatas sehingga hampir semua hal diatur oleh Negara, pertanyaannya apakah 13 ribu peraturan daerah tersebut disusun secara partisipatif dan berimbas positif bagi masyarakat atau justru membebani masyarakat ?
Karena kalau kita melihat ke belakang masih banyak sekali pemerintah daerah dalam menyusun berbagai peraturan daerah belum melibatkan masyarakat, dan masih ada masyarakat yang merasa dirugikan karena keberadaan peraturan daerah. Hal ini yang menyebabkan dari 13 ribu perda tersebut ada 30 % digagalkan setelah dievaluasi oleh pemerintah pusat ( catatan Depkeu ).
Latar belakang ini yang akan coba dibahas pada catatan kali ini, catatan ini merupakan hasil diskusi selama 2 hari yang diselenggarakan oleh AK3 Bandung pada tanggal 2-3 September 2010 yang bertepatan dengan musim mudik lebaran ( H – 7 Lebaran ), sehingga dalam perjalanan pulang saya melebur dan ikut serta dalam hiruk pikuk suasana mudik, dalam diskusi ini di perkenalkan sebuah metode untuk mengkaji peraturan daerah, yaitu metode RIA ( Regulatori Impact Assesment ), dalam diskusi kali ini memang baru tahap perkenalan RIA sehingga baru diikuti oleh intern AK3 serta 2 perwakilan dari daerah ( Kebumen dan Solo ) , rencananya diskusi ini akan ditindaklajuti dengan diskusi-diskusi lanjutan dan pelatihan tentang implementasi dalam penggunaan RIA. ( Lebih lanjut bisa didownload di link )
Selasa, 24 Agustus 2010
PANTAI WIDARA PAYUNG
Merupakan objek wisata pantai dengan luas seluruh areal pantai mencapai 500 hektar terletak di Desa Widarapayung Kecamatan Binangun atau terletak ± 35 km arah timur dari Kota Cilacap. Kondisi pantainya sangat landai dengan dipagari pohon kelapa sehingga menjadikan pantai ini sejuk. Sedangkan luas kawasan yang ditetapkan sebagai Obyek Wisata Pantai Indah Widarapayung adalah sekitar 30 Ha (1000 m x 300 m)
Untuk menuju Pantai Indah Widarapayung sangatlah mudah bisa menggunakan angkutan umum bus jurusan Cilacap – Gombong atau kendaraan pribadi karena letaknya di Jalan Lintas Selatan – Selatan. Fasilitas yang ada di Pantai Indah Widarapayung: jalan yang beraspal, Shelter (tempat berteduh), Gardu Pandang, Kolam Renang, Tempat Parkir, Warung Makan, dan Kesenian Daerah. Pada bulan syura dilakukan Upacara Ritual Adat Tradisional Sedekah Bumi untuk larungan sesaji ke laut dengan diiringi kesenian daerah dan Pakaian Adat. Upacara Sedekah Bumi adalah merupakan salah satu perwujudan ungkapan rasa syukur yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Desa Widarapayung agar diberi keberkahan, keselamatan dalam sehari – harinya oleh Gusti kang Maha Agung.
Obyek ini menawarkan panorama pantai yang indah, upacara adat dan kesenian daerah, gelombang laut yang relatif teratur dan cocok untuk Selancar air.
Aksesibiltas :
Dari arah timur : melewati perbatasan Kebumen (Pantai Ayah) – Cilacap (Pantai Jetis) dengan menyeberangi Jembatan Kali Bodo – ke arah barat – menuju lokasi di sebelah kiri jalan.
Dari arah barat : dari Kota Cilacap – Adipala – ke arah timur menuju Kec. Binangun – mencapai lokasi di sebelah kanan jalan.
Harga Tiket* :
Orang Tarif
Hari Biasa Hari Libur
Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam
Dewasa Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 5.000,- Rp. 4.000,-
Anak Rp. 2.500,- Rp. 3.000,- Rp. 2.500,- Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 3.000,-
*(KTM sesuai Perda Nomor 7 tahun 2008 tentang Retribusi Tempat Rekreasi di Kabupaten Cilacap)
Pedagang di pantai Widara payung dibawah kordinasi Pokdarwis ( Kelompok sadar wisata ), para pedagang / Pokdarwis untuk meningkatkan manajemen dan untuk bisa meningkatkan keindahan pantai widara paying pernah mengadakan study banding di pantai Pangandaran dan Bali, kegiatan study banding ini difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Pemerintah desa.
Pemdes memang mempunyai peran yang besar bagi Pokdarwis, dan pantai widara payung, karena pemdes adalah pihak terdekat dengan pantai widara paying missal ketika terjadi kecelakaan di pantai maka pemdes lah yang pertama kali menanganinya ( Ungkap Kepala desa ). Pemerintah Desa juga mendapatkan kontribusi dari penghasilan tiket / retribusi .
Bagi hasil tersebut terdiri dari :
1. 35 % untuk Desa
2. 15 % untuk TNI ( karena sebagaian lahan milik TNI walaupun tidak ada sertifikat )
3. 50 % Pemda
Dahulu memang 50 % untuk desa dan 50 % untuk Pemda tetapi ada perubahan perturan dan diadakan Mou baru.
Pada tanggal 22 Agustus pedagang pantai karanggadung melakukan study banding di pantai widara payung, tujuan study banding ini diantaranya :
1. Melihat pengelolaan wisata berbasis masyarakat
2. Meningkatkan manajemen kelompok pedagang pantai
3. menerapkan cipta wisata.
Untuk menuju Pantai Indah Widarapayung sangatlah mudah bisa menggunakan angkutan umum bus jurusan Cilacap – Gombong atau kendaraan pribadi karena letaknya di Jalan Lintas Selatan – Selatan. Fasilitas yang ada di Pantai Indah Widarapayung: jalan yang beraspal, Shelter (tempat berteduh), Gardu Pandang, Kolam Renang, Tempat Parkir, Warung Makan, dan Kesenian Daerah. Pada bulan syura dilakukan Upacara Ritual Adat Tradisional Sedekah Bumi untuk larungan sesaji ke laut dengan diiringi kesenian daerah dan Pakaian Adat. Upacara Sedekah Bumi adalah merupakan salah satu perwujudan ungkapan rasa syukur yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Desa Widarapayung agar diberi keberkahan, keselamatan dalam sehari – harinya oleh Gusti kang Maha Agung.
Obyek ini menawarkan panorama pantai yang indah, upacara adat dan kesenian daerah, gelombang laut yang relatif teratur dan cocok untuk Selancar air.
Aksesibiltas :
Dari arah timur : melewati perbatasan Kebumen (Pantai Ayah) – Cilacap (Pantai Jetis) dengan menyeberangi Jembatan Kali Bodo – ke arah barat – menuju lokasi di sebelah kiri jalan.
Dari arah barat : dari Kota Cilacap – Adipala – ke arah timur menuju Kec. Binangun – mencapai lokasi di sebelah kanan jalan.
Harga Tiket* :
Orang Tarif
Hari Biasa Hari Libur
Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam
Dewasa Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 5.000,- Rp. 4.000,-
Anak Rp. 2.500,- Rp. 3.000,- Rp. 2.500,- Rp. 3.000,- Rp. 4.000,- Rp. 3.000,-
*(KTM sesuai Perda Nomor 7 tahun 2008 tentang Retribusi Tempat Rekreasi di Kabupaten Cilacap)
Pedagang di pantai Widara payung dibawah kordinasi Pokdarwis ( Kelompok sadar wisata ), para pedagang / Pokdarwis untuk meningkatkan manajemen dan untuk bisa meningkatkan keindahan pantai widara paying pernah mengadakan study banding di pantai Pangandaran dan Bali, kegiatan study banding ini difasilitasi oleh Dinas Pariwisata dan Pemerintah desa.
Pemdes memang mempunyai peran yang besar bagi Pokdarwis, dan pantai widara payung, karena pemdes adalah pihak terdekat dengan pantai widara paying missal ketika terjadi kecelakaan di pantai maka pemdes lah yang pertama kali menanganinya ( Ungkap Kepala desa ). Pemerintah Desa juga mendapatkan kontribusi dari penghasilan tiket / retribusi .
Bagi hasil tersebut terdiri dari :
1. 35 % untuk Desa
2. 15 % untuk TNI ( karena sebagaian lahan milik TNI walaupun tidak ada sertifikat )
3. 50 % Pemda
Dahulu memang 50 % untuk desa dan 50 % untuk Pemda tetapi ada perubahan perturan dan diadakan Mou baru.
Pada tanggal 22 Agustus pedagang pantai karanggadung melakukan study banding di pantai widara payung, tujuan study banding ini diantaranya :
1. Melihat pengelolaan wisata berbasis masyarakat
2. Meningkatkan manajemen kelompok pedagang pantai
3. menerapkan cipta wisata.
Langganan:
Postingan (Atom)